Total Pageviews

Sunday 23 January 2011

Gaji PM Singapura Nomor 1 di Dunia

Jumat, 21/01/2011 18:54 WIB
Mengintip Gaji Presiden
Gaji PM Singapura Nomor 1 di Dunia, SBY Nomor 16  
Nograhany Widhi K - detikNews


Jakarta - Ini masih soal gaji presiden dan para pemimpin negara di dunia. Majalah The Economist edisi 6 Juli 2010 sering jadi rujukan dalam isu itu. Majalah ini membandingkan gaji pemimpin dibandingkan dengan pendapatan perkapita negeri tersebut. Hasilnya, Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong menempati posisi nomor satu.

PM Singapura Lee Hsien Loong mendapatkan gaji US$ 2,18 juta atau setara Rp 19,8 miliar per tahun. Gaji Loong ini 5 kali lipat dari gaji Presiden AS Barack Obama, yang sebesar US$ 400 ribu atau Rp 3,6 miliar per tahun.

Gaji Loong ini sekitar 40 kali dari pendapatan per kapita Singapura. Hal yang sangat 'wow' mengingat gaji terbesar pemimpin negara itu berasal dari negara yang terkecil di dunia, yang hanya seluas 700 km persegi. Pendapatan rata-rata warga Singapura adalah US$ 2.400 per bulan atau Rp 21,8 juta, sehingga rata-rata pendapatan per kapita Singapura adalah Rp 262 juta.

Sedangkan pendapatan PM India Manmohan Singh tercatat yang terendah, yaitu US$ 4.106 atau Rp 37,3 juta per tahun. Gaji Singh ini sekitar 2 kali dari pendapatan per kapita India. Padahal India adalah negara ketujuh terbesar di dunia.

Sementara negara yang sangat ironis, yaitu Kenya, mengusulkan gaji PM Raila Odinga naik menjadi US$ 428 ribu atau setara Rp 3,9 miliar per tahun. Lebih tinggi dari gaji Presiden AS Barack Obama yang US$ 400 ribu atau Rp 3,6 miliar per tahun.

Gaji Odinga ini merupakan usulan dari parlemen. Sementara anggota parlemen sendiri menaikkan gaji tahunan mereka 25 persen menjadi US$ 161 ribu atau setara Rp 1,5 miliar. Odinga sudah menolak usulan parlemennya ini.

Bagaimana dengan Presiden Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Versi The Economist ini, gaji SBY sebesar US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji SBY ini sekitar 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia.

Data ini berbeda dari rilis jubir Istana Kepresidenan pada 1 Januari 2006 dari www.presidensby.info. Di situ disebutkan Presiden menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp 62.497.800 per bulan. Kalau dihitung per tahun gaji SBY mencapai Rp 749,9 juta atau US$ 82,3 ribu.

Berikut peringkat gaji per tahun pemimpin negara di dunia, dari yang tertinggi sampai terendah, dari The Economist:

1. Singapura US$ 2,18 juta atau setara Rp 19,8 miliar (40 kali pendapatan per kapita)
2. Hong Kong US$ 513 ribu atau sekitar Rp 4,7 miliar (20 kali pendapatan per kapita)
3. Kenya US$ 423 ribu atau setara Rp 2,9 miliar (240 kali pendapatan per kapita)
4. AS US$ 400 ribu atau setara Rp 3,6 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
5. Prancis US$ 302 ribu atau sekitar Rp 2,7 miliar (9 kali pendapatan per kapita)
6. Kanada US$ 296 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
7. Irlandia US$ 287 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (5 kali pendapatan per kapita)
8. Australia US$ 286 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (5 kali pendapatan per kapita)
9. Jerman US$ 283 ribu atau sekitar Rp 2,5 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
10. Jepang US$ 273 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
11. Afrika Selatan US$ 272 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (26 kali pendapatan per kapita)
12. Selandia Baru US$ 271 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (10 kali pendapatan per kapita)
13. Inggris US$ 215 ribu atau setara Rp 1,9 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
14. Taiwan US$ 184 ribu atu sekitar Rp 1,6 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
15. Korea Selatan US$ 136 ribu atau sekitar Rp 1,2 miliar (9 kali pendapatan per kapita)
16. Indonesia US$ 124 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar (28 kali pendapatan per kapita)
17. Israel US$ 120 ribu atau sekitar Rp 1 miliar (4 kali pendapatan per kapita)
18. Rusia US$ 115 ribu atau sekitar Rp 1 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
19. Argentina US$ 74 ribu atau setara Rp 674 juta (5 kali pendapatan per kapita)
20. Polandia US$ 45 ribu atau setara Rp 409 juta (3 kali pendapatan per kapita)
21. China US$ 10 ribu atau sekitar Rp 96 juta (2 kali pendapatan per kapita)
22. India US$ 4 ribu atau sekiitar Rp Rp 37,3 juta (2 kali pendapatan per kapita)

(nwk/nrl)

http://www.detiknews.com/read/2011/01/21/185427/1552042/10/gaji-pm-singapura-nomor-1-di-dunia-sby-nomor-16?9911022

Friday 7 January 2011

Anggaran Pendidikan dan Investasi ”Human Capital” Kita

Oleh Andi Irawan

Ada dua informasi empiris yang memperhatikan tentang kualitas sumber daya manusia kita, yakni, pertama, laporan UNDP yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia turun dari peringkat 102 pada 2001 dari 162 negara yang diteliti, menjadi peringkat 110 pada 2002 dari 173 negara yang diteliti. Peringkat tersebut Indonesia berada satu peringkat di bawah Vietnam (109). Negara Asean lainnya seperti Singapura di peringkat 25, Brunei (32), Malaysia (59), Thailand (70) dan Filipina (77).
Kedua, sejak tahun tahun 2000 sampai saat ini, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,3 juta siswa SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA. Mereka semua terancam putus sekolah.
Informasi pertama mengindikasikan bahwa ada penurunan kualitas SDM kita, sedangkan informasi kedua mengingatkan kita bahwa ancaman penurunan kualitas tersebut akan terjadi pada masa-masa berikutnya.
Dengan kata lain, kalau keadaan ini tidak diperbaiki kita akan menanggung akibatnya pada 10 tahun mendatang ketika era pasar bebas kawasan Asia Pasifik (2010) menerpa kita.
Pertanyaan yang layak kita sampaikan adalah apakah SDM kita bisa bersaing dengan SDM negara lain pada saat itu. Ada jawaban yang sangat menyakitkan, tetapi tetap perlu disampaikan. Jawaban itu adalah kita harus bersiap-siap ketika sebagian besar anak bangsa ini menjadi kuli-kuli internasional yang menduduki pekerjaan yang bernilai tambah rendah dan marginal.
Sebenarnya, ada kelegaan ketika kita mendengar bahwa amendemen ke-4 UUD 45 mengamanatkan melalui Pasal 31 yang mengisyaratkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Namun, kita menjadi prihatin kembali ketika amanat Pasal 31 tersebut dianggap para elite eksekutif dan legislatif bukanlah suatu kewajiban, ini tampak ketika kita mengetahui bahwa anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN 2003 hanya 4,15% dari RAPBN.
Yang lebih parah, anggaran pendidikan tersebut ternyata masih kalah dibanding dengan anggaran militer. Dalam RAPBN 2003, anggaran untuk pendidikan Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 persen dari APBN. Sementara itu, untuk bidang pertahanan dan keamanan, anggaran direncanakan 7,5 persen atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Memang harus diakui, negara ini membutuhkan situasi keamanan yang kondusif untuk situasi aktivitas perekonomian yang kondusif untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Walau bagaimanapun seperti yang dikatakan oleh salah seorang anggota DPR Prof Dr. Manasse Mallo bahwa negara kita tidak sedang dalam kondisi bahaya perang atau waspada terhadap tekanan militer sehingga sangat tidak masuk akal jika sektor anggaran pendidikan nasional ternyata kalah dengan anggaran militer.
Pendidikan padahal adalah faktor yang akan menentukan kualitas human capital. Human capital ini adalah faktor penentu eksis pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kualitas civil society suatu bangsa. Dengan kata lain, kualitas human capital memiliki fungsi strategis secara ekonomis dan nonekonomis.

Fungsi Strategis Ekonomi
Setidaknya ada tiga teori ekonomi yang merujuk fungsi strategis human capital yang berkualitas. Pertama adalah teori Beyond Solow. Suatu teori yang menunjukkan arti penting human capital dalam pembangunan ekonomi.
Teori ini mengatakan bahwa modal manusia (human capital) disamping modal fisik dan teknologi merupakan faktor penting penentu pembangunan ekonomi (lihat Mankiw, Romer dan Well (1992), sedangkan penentu human capital itu adalah ilmu pengetahuan.
Kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan faktor produksi lain seperti yang dikatakan Romer, J.M. Clark (2000) bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak pernah berkurang. Ini menunjukkan bahwa satu-satunya benda di dunia yang tidak pernah berkurang (diminishing) baik dari segi kuantitas maupun kualitas walaupun ia telah digunakan berulang-ulang adalah ilmu pengetahuan.
Hasil studi para pakar mazhab ini (lihat Mankiw, Romer dan Well (1992) dan Romer (1996)) menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antarnegara maju dan negara miskin bukanlah disebabkan oleh ketiadaan upaya negara miskin dalam akses teknologi dibanding negara maju, tetapi semata-mata disebabkan oleh kualitas rendah dari human capital di negara-negara miskin tersebut. Mereka menemukan bahwa 80% perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah disebabkan oleh faktor modal fisik dan modal manusia, sedangkan 20% lagi sisanya karena faktor-faktor lain.
Kedua, Teori modal manusia. Teori ini menjelaskan proses di mana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an, termasuk para pelopornya adalah pemenang hadiah Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini.
Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi.
Ketiga adalah Teori Alokasi atau persaingan status dengan tokoh-tokohnya antara lain Lester Thurow (1974), John Meyer (1977), dan Randall Collins (1979). Teori ini lahir pada tahun 70-an, yang merupakan evaluasi dan kritik terhadap teori modal manusia.
Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama.
Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya nonformal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal.

Fungsi Strategis Nonekonomi
Di samping punya fungsi strategis secara ekonomi, peningkatan kualitas human capital melalui pendidikan juga memiliki fungsi non ekonomi. Setidaknya ada dua fungsi non ekonomis yang akan penulis kemukakan disini, yang sangat dibutuhkan bangsa kita menuju era civil society yakni
Pertama, fungsi politis; merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik kolektif dan individual. Pada tingkat individual, pendidikan membantu SDM untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif sehingga dapat mengakselarasi terbentuknya civil society (kolektif).
Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demokratis. Selain itu, orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Kedua, fungsi sosial-budaya; merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu SDM untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik.
Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya toleransi dan kerja sama antar budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Membangun SDM yang andal memang membutuhkan waktu lama, investasi saat ini, hasilnya mungkin baru bisa tampak 20 tahun mendatang. Itu harus kita lakukan kalau kita ingin bangsa ini tidak menjadi bangsa kuli. Terlebih dari itu seperti yang dikatakan oleh para pakar ekonomi Beyond Solow human capital yang memadai akan menentukan keberkelanjutan pembangunan ekonomi suatu bangsa.
Terakhir, melihat fenomena masih rendahnya anggaran pendidikan APBN 2003, saya berharap itu bukan mengindikasikan kebenaran pernyataan Profesor Toshiko Kinosita seorang pakar dari Jepang ketika ia mengatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah dikarenakan pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.

Penulis adalah pengamat ekonomi sumberdaya manusia, Universitas Bengkulu.


http://groups.yahoo.com/group/unmulnet/message/2474