Total Pageviews

Saturday 18 December 2010

Belajar Pengelolaan SDM pada Timnas Indonesia

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Pemain Tim Nasional Indonesia melakukan selebrasi merayakan kemenangan atas Tim Nasional Filipina pada pertandingan semi final leg pertama AFF Suzuki Cup 2010 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (16/12/2010). Tim Nasional Indonesia menang dengan skor 1-0.
 
Inilah yang Menyulap Timnas Jadi Beda
 
Jumat, 17 Desember 2010 | 14:31 WIB
 
Oleh: dr Phaidon Lumban ToruanKOMPAS.com — Luar biasa! Tim nasional berhasil mengoleksi empat kemenangan berturut-turut di ajang Piala AFF. Terakhir adalah saat melawan Filipina, yang katanya memiliki sembilan pemain naturalisasi. Semua lawan yang telah merasakan keperkasaan Firman Utina dan kawan-kawan saat ini mungkin cukup terperangah melihat tim sebuah negara besar yang sudah lama absen dari prestasi tiba-tiba tampil berbeda.
Kemenangan yang bukan main-main. Menundukkan Malaysia 5-1, mencukur Laos 6-0 (yang mampu menahan Thailand 2-2), dan menaklukkan Thailand 3-1 (salah satu tim terkuat di Asia Tenggara), dan terakhir menang atas Filipina 1-0 di semifinal leg pertama adalah bukti keperkasaan itu.
Apa rahasia besar dari semua ini? Tentu ini adalah hasil kegigihan semua pemain di lapangan serta peran besar seorang Alfred Riedl, sang pelatih kepala, yang dibantu asisten Wolfgang Pikal dan Widodo C Putro. Tapi, apalagi?
Pasti ada sesuatu yang baru bukan? Masalahnya bukan sekali karena Indonesia menggunakan jasa tenaga pelatih asing. Bahkan negara yang disegani di Asia Tenggara, Thailand, menggunakan jasa pelatih ”bule” sekaliber Bryan Robson pun harus angkat koper lebih awal.
Apa yang berbeda?
Sejak PSSI menunjuk Iman Arif sebagai Direktur Badan Tim Nasional (BTN),  ia secara intensif membentuk suatu tim yang terdiri atas para profesional. Ia melibatkan banyak orang dengan latar belakang  profesional di perusahaan multinasional. Orang-orang pilihan ini menempati semua divisi, mulai dari sekretaris direksi, direktur administrasi, direktur  keuangan, direktur marketing, direktur talent scouting, dan direktur sport science.
Iman melakukan perubahan radikal di semua lini dan menerapkan true management. True management di perusahaan multinasional seperti yang dikomandoi ImanArif senantiasa menerapkan management science dalam pekerjaan sehari-harinya.
Iman saat ini tidak lagi menjabat Direktur BTN, tetapi kini bertugas sebagai Direktur Teknis di bawah direktur baru BTN, Nirwan Bakrie. Saya sendiri pernah menjabat direktur sport science di BTN.  Tetapi, saat ini saya lebih banyak membantu Iman membuat rancangan strategis untuk meningkatkan, bukan hanya kualitas tim nasional, melainkan juga melakukan transfer knowledge ke seluruh insan sepak bola di Indonesia.
Artinya, Badan Tim Nasional  bekerja mengumpulkan semua ilmu pengetahuan yang menunjang prestasi sepak bola (bisa dibilang kulakan ilmu), melakukan cara-cara  aplikasi ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan kondisi di Indonesia. Keberadaan organisasi divisi sport science di Badan Tim Nasional  merupakan bagian dari pelaksanaan rekomendasi sarasehan sepak bola nasional di Malang beberapa waktu lalu.
Ada beberapa stretegi sport science yang diformulasikan buat timnas. Strategi pertama adalah melakukan aplikasi sport medicine dibantu beberapa profesional. Apa yang dilakukan dalam disiplin ilmu ini adalah melakukan pemeriksaan awal, baik pemeriksaan fisik, laboratorium, dan musculoskeletal (sendi dan/atau otot).
Dengan pemeriksaan ini, data pemain yang dinyatakan oleh tim sport medicine tidak fit diserahkan kepada Alfred sebagai pelatih kepala sehingga saat menyusun tim, bisa mengantisipasi pemain-pemain yang bermasalah secara kesehatan agar tidak mengganggu program kerjanya.
Usaha ini tentu perlu kesabaran karena tim memeriksa puluhan pemain yang secara kasatmata merupakan yang terbaik di Indonesia. Hasil akhir dari pekerjaan ini adalah adanya penilaian kondisi fisik pemain sehingga timnas yang terbentuk terdiri atas pemain yang fit untuk pelatihan.
Strategi kedua adalah melakukan aplikasi sport nutrition. Saat awal pembentukan timnas, akibat kurangnya dokter yang menjadi ”pemain lapangan” di bidang sport nutrition, saya melakukannya sendiri sesuai dengan pengalaman menangani beberapa atlet nasional. Pada pelatnas tahap kedua, pakar dari FKUI-RSCM dilibatkan untuk membantu pengawasan dan penyusunan menu makan. Walaupun sudah diawasi, tetap saja aplikasi sport nutrition belum sepenuhnya sempurna dilakukan.
Ketiga, adalah psikologi olahraga. Mental ternyata masih menjadi masalah di Indonesia. Untuk itu, ada banyak program yang telah disiapkan oleh tim sport science Badan Tim Nasional, tetapi belum semuanya bisa dijalankan.
Keempat adalah penggunaan sport technology. Beberapa hal unik dalam aplikasi  teknologi sport adalah penggunaan alat ukur yang canggih guna menentukan kecepatan tendangan, membuat sepatu yang didesain khusus untuk personal (karena pada faktanya kaki kiri dan kaki kanan manusia ukurannya tidak sama, sementara sepatu selalu dibuat simetris), penggunaan berbagai gadget seperti gelang magnet, dan salah satu aplikasi yang paling sederhana yang bisa dikerjakan adalah dengan bermain dengan teknologi IT.
Beberapa hal yang berhubungan dengan IT adalah pencatatan data, simulasi pertandingan, review pertandingan, komunikasi, dan visualisasi yang mendukung semua hal yang diperlukan dalam mencapai performa maksimal.
Lewat tulisan ini, Anda bisa melihat bahwa di dalam Badan Tim Nasional PSSI sudah ada beberapa perubahan khusus di bidang sport science saja. Masih ada perubahan lain di divisi lain yang ada di tubuh Badan Tim Nasional.
Pada akhir tulisan ini saya sekali lagi mengatakan bahwa prestasi tim nasional adalah prestasi tim. Tim pelatih dan  tim pemain, tim support, tim administrasi, tim marketing, tim talent scouting, tim sport science dan tim medis, dukungan PSSI, dukungan pemerintah, serta jiwa seluruh rakyat Indonesia yang berhimpun di Gelora Bung Karno, menjadikan kita saat ini memiliki  modal sebagai super team, bukan ”kumpulan superman”.
Dengan demikian, kita berpeluang menjadi the winning team. Dan kalau saja prestasi  dan kerja sama ini diteruskan, mimpi saya dan juga insan sepak bola Indonesia bahwa kita bisa dan mampu main di putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil akan menjadi kenyataan.
Saya mengundang para pemimpi besar di negeri ini untuk  mengambil tindakan saat ini juga demi kejayaan Indonesia. Saat ini kita melihat Indonesia menari. Tahun 2014, kita akan menari, menyanyi, dan bersukacita melihat jati diri kita yang sebenarnya. Saat itu kita akan tepuk dada kita dengan bangga seraya berkata, ”Saya orang  Indonesia.”

Penulis adalah Sports Scientist di Badan Tim Nasional PSSI

Saturday 11 December 2010

Indeks Pembangunan Manusia 2009

PBB: Kualitas RI Masih Kalah dari Tetangga.
Menurut laporan yang disusun PBB, Indonesia masih tergolong negara berkembang

VIVAnews - Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pembangunan (UNDP) menempatkan Indonesia ke posisi 111 dari 182 negara dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tahun ini. Indonesia mencatat HDI 0,734 sehingga dikelompokkan sebagai negara berkembang.

HDI merupakan pengukur perkembangan pembangunan kemanusiaan jangka panjang. HDI dihitung dari tiga unsur yaitu lama harapan hidup. Indikator lainnya yakni akses terhadap pengetahuan yang dinilai dari tingkat melek huruf dan jumlah pendaftar pendidikan formal.
Diantara negara-negara Asia Tenggara, kualitas hidup di Indonesia masih kalah ketimbang Singapura yang berada di rangking 23 (HDI 0,944), Brunei (peringkat 30/HDI 0,920), Malaysia (peringkat 66/ HDI 0,829), Thailand (rangking 86/HDI 0,783) dan Filipina (urutan 105/HDI 0,751). Namun, HDI Indonesia masih lebih baik dari Vietnam (116) dan Laos (133).
Kualitas kehidupan juga menjadi bahan penilaian UNDP. Ini diketahui dari pendapatan nasional bruto (GDP) dan daya beli masyarakat yang dinyatakan dalam dolar Amerika Serikat. Data untuk setiap indikator didapat dari Divisi Populasi PBB, UNESCO, dan Bank Dunia. HDI dinyatakan dalam angka antara 0 hingga 1.

UNDP mengelompokkan negara-negara menjadi dua bagian berdasarkan HDI. Negara dengan HDI lebih dari 0,900 dikategorikan sebagai negara maju. Sementara negara yang mencatat HDI kurang dari 0,900 dimasukkan kelompok negara berkembang.

Kelompok ini dibagi lagi menjadi tiga kategori. Antara lain negara dengan HDI antara 0,800 hingga 0,899, negara kelompok menengah dengan HDI antara 0,500 sampai 0,799, dan negara dengan HDI di bawah 0,500.

Angka HDI yang diumumkan dalam Peluncuran Laporan Pembangunan Manusia di Hotel Sultan, Jakarta, 5 Oktober 2009 merupakan hasil penghitungan pada 2007. Tahun sebelumnya, Indonesia juga berada di posisi 111, namun dengan HDI yang lebih rendah yaitu 0,729.

HDI Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia Timur lain yang mencapai 0,770. Namun lebih tinggi dari rata-rata HDI negara berkembang kelompok menengah yaitu 0,686.

Tiga negara  masuk daftar HDI 2007 yaitu Afghanistan, Andorra, dan Liechtenstein. Dua negara terakhir masuk jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi. UNDP menempatkan Norwegia sebagai negara terbaik dan Nigeria sebagai negara terburuk.
• VIVAnews
http://dunia.vivanews.com/news/read/94478-pbb__kualitas_ri_masih_kalah_dari_tetangga

Indonesia’s Human Development Index Score Rises

http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesias-human-development-index-score-rises/411105


Jakarta. A child born in Indonesia today can expect to live on average 17 years longer than his or her parents born 30 years ago.

That was a key message from the latest human development report released by the United Nations Development Program on Friday.

Indonesia’s life expectancy rose by 17 years, from 54 to 71, between 1980 and 2010. That was dramatically better than the average for East Asia and Pacific countries, which saw a 14-year rise from 59 to 73 over the 40 years from 1970 to today.

Indonesia’s expected years of schooling have also improved by four years, from eight to 12, between 1980 and today, and per capita income has increased by 180 percent.

Across the region, the average literacy rate grew from 53 to 94 percent and school enrollment increased by seven percent.

The report measures the development level of 135 countries under the categories of health, education and income.

It shows South Asia as home to half of the world’s poor population, or 844 million people, and reports that one-fifth of Indonesians suffer serious deprivation in more than one of the categories.

However, this year’s report focuses on the continuing improvements in Indonesia, which it ranked fourth among 10 countries in which Human Development Index scores have been improving.

Indonesia is the sixth-best improving country for income-related issues and 10th for non-income issues.

“Indonesia went up in HDI [country] ranking from 111 to 108, and overall we see a positive progress,” UNDP country director Beate Trankmann said. “The positive trends we have seen in Indonesia over the last few years have continued to this year.”

However, Indonesia’s actual HDI score is still a mediocre 0.600, the report notes. Norway tops the list with an HDI value of 0.938 while Zimbabwe ranked the lowest at 0.140. Indonesia is below Malaysia (57th), Thailand (92th) and the Philippines (97th) in Southeast Asia.

World average HDI has increased 18 percent since 1990, reflecting improvements across the development spectrum.

Trankmann warned Indonesia’s figures could mask troubling geographical differences, though.

“Indonesia is a bit of mix. You see good progression on the income side, GDP is growing more than the regional average and there are sound economic policies,” she said. “Indonesia has done comparatively better than other countries in the region.

“But that’s not the only factor. Continuous investment in education will be required to address some of the challenges that you have in the most deprived provinces.”

Armida Alisjahbana, state minister for the National Planning and Development Board, said the government is targeting several aspects for development; macroeconomic stability, food and energy security.

Friday 10 December 2010

Indonesia VP Eyes Singapore Model of Bureaucratic Reform



Jakarta. Vice President Boediono told visiting Singaporean Deputy Prime Minister Teo Chee Hean on Thursday that he was interested in learning more about how the city-state manages to recruit the best people for its government.

Boediono said he hoped to apply similar methods here in Indonesia to improve the notorious bureaucratic system.

“One of the discussion themes was how to attract middle- and upper-level officials from the private sector, the best employees in the middle of their careers, to become bureaucrats,” Boediono spokesman Yopie Hidayat said.

“This is difficult as the government has to compete in the market as an employer,” the spokesman added.

Boediono is part of a national team for bureaucratic reform, and the Singaporean system is known for its low level of corruption and highly efficient public services.

“Singapore is small, the government system is smaller, but there are things to learn,” Yopie said, quoting Boediono.

Bureaucratic reform has been a problem for the Indonesian government.

The national team commenced a pilot project within the Ministry of Finance that was initially considered to be proceeding well but was later undermined by the Gayus tax mafia case.

Previously, EE Mangindaan, the state minister for administrative reform and head of the national bureaucracy reform team, said all ministries were expected to complete their reforms by 2014.